Senandung

Senin, 26 Agustus 2002

Wanita Idaman

Pernikahan antara pangeran Charles, putra mahkota kerajaan Inggris, dan putri Diana pada tiga dekade lalu dianggap oleh banyak kalangan sebagai “perkawinan abad ini.” Yang laki-laki tampan, kaya raya, terpelajar dan calon raja Inggris. Sedang yang perempuan cantik jelita dan baik budi. Dua dasawarsa kemudian, setelah mempelai ideal ini dikaruniai dua anak, kedua mempelai ini sepakat untuk kembali menghadap kadi namun dengan tujuan berbeda: untuk bercerai. Apa penyebabnya?
Banyak faktor. Yang terutama adalah ketidaksetiaan putri Diana. Dalam wawancaranya dengan wartawan tv Inggris BBC, Martin Bashir, putri Diana mengaku terus terang bagaimana dia telah menjalin hubungan perselingkuhan dengan sejumlah lelaki termasuk di antaranya pengawal pribadinya, pejabat kerajaan dan yang terakhir dengan seorang pemuda asal Mesir bernama Dodi Al Fayed putra Muhammad Al Fayed, seorang hartawan Inggris pemilik supermarket Harold, sebuah supermarket yang menjual barang dagangan khusus untuk kalangan jutawan dan kerajaan.
Faktor kedua adalah kesibukan putri Diana dalam menjalankan aktivitas di luar rumah sebagai utusan khusus PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang mengharuskan sang putri melakukan perjalanan jauh keliling dunia mengunjungi sejumlah negara sehingga tak ada waktu lagi untuk berkumpul dengan, apalagi melayani, sang suami.
Setelah perceraian, pangeran Charles kembali menjalin hubungan dengan seorang janda bekas teman kelasnya waktu kecil bernama Camilla Parker yang kemudian dinikahinya sampai sekarang. Apa yang menarik di sini adalah bahwa Camilla Parker tidaklah cantik. Boleh dikatakan buruk rupa dan wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Mengapa pangeran Charles menyukainya?
Camilla Parker memiliki kepribadian seorang wanita yang menjadi idaman semua pria yang berpendidikan. Ia tidak cantik rupanya, tapi hatinya berkilau. Perempuan tipe ini disebut sebagai memiliki inner beauty (kecantikan dalam). Istri yang memiliki inner beauty selalu tahu tugas dan kewajibannya terhadap suami. Ia tidak pernah mengeluh, sebaliknya ia selalu mensyukuri segala hal baik yang dilakukan sang suami; dan berusaha memperbaiki kesalahan pasangannya dengan cara yang tidak menyakitkan. Rasa sayang, kesetiaan dan pengabdiannya selalu ia berikan untuk satu orang. Ia selalu ingin memberi, dan tidak pernah menuntut. Ia menjadi pasangan yang selalu menawarkan solusi tak kala sang suami menghadapi masalah. Ia akan menjadi peringan atas beban berat yang dipilkul suami.
Kecantikan fisik perlu disyukuri karena itu anugerah Ilahi, tapi kecantikan fisik hanya akan menanam kekaguman sesaat di mata pria dan akan berbalik menjadi pelecehan dan penistaan apabila tanpa diimbangi dengan kecantikan perilaku; banyak pelacur dan wanita murahan berwajah cantik.
Sebaliknya, dalam banyak fakta, inner beauty atau kecantikan perilaku, keindahan hati dan kedewasaan sikap akan menanamkan kekaguman dan penghargaan abadi dan bertahan lama baik dari sang suami maupun dari lingkungan sekitar. Inilah mengapa dalam sebuah Hadits, Rasulullah memerintahkan seorang pria untuk memilih calon istri berdasarkan pada kecantikan hatinya (li diniha), bukan karena kecantikan lahir atau hartanya.
Begitu juga, wanita dalam memilih calon suami hendaknya tidak berdasar pada penampilan fisiknya, status sosial atau hartanya; tapi pada ketampanan hati dan keindahan perilaku serta kekuatan sikap kepemimpinannya.
Tayangan kisah tak Islami di sinetron, perilaku seronok para artis dan gosip murahan selebritis di televisi telah merubah cara berpikir sebagian masyarakat baik di kota maupun di pedesaan ke arah pola pikir negatif dan materialistik. Salah satu dampak negatifnya adalah pemujaan kepada penampilan fisik yang sebenarnya sangat menipu. Kebahagiaan dan kedamaian hati hanya akan tercapai apabila seorang santri khususnya dan umat Islam umumnya berpegang teguh pada sendi-sendi ajaran Islam; bukan pada ajaran-ajaran sesat yang ditularkan oleh penampilan dan kata-kata murahan para aktor dan artis bodoh itu
Oleh A. Fatih Syuhud

Minggu, 25 Agustus 2002

Wanita Dewasa

Secara etimologis (istilah) fiqih seorang wanita dianggap dewasa apabila sudah memasuki masa haid, biasanya saat usia 13 – 14 tahun. Setelah memasuki masa inilah berlaku kewajiban dan larangan agama seperti kewajiban salat lima waktu dan larangan bergaul dengan pria yang bukan muhrim. Menurut hukum negara, wanita baru dianggap dewasa saat berusia 17 tahun saat di mana dia mulai memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara penuh seperti hak untuk mengenyam pendidikan, berpartisipasi dalam pemilu, hak untuk menikah, memiliki KTP atau SIM serta kewajiban untuk menaati peraturan pemerintah yang berlaku.
Dewasa dalam pengertian di atas adalah definisi dewasa yang formal yang terkait dengan hukum tertentu baik hukum islam maupun hukum negara.
Sedang dewasa dalam tinjauan umum, termasuk dalam tinjauan psikologi, adalah sempurnanya pertumbuhan fisik dan mental seseorang. Pertumbuhan fisik yang normal mudah diketahui karena dapat dilihat oleh pancaindra. Akan tetapi pertumbuhan mental yang sempurna dan matang merupakan hal yang berbeda..
Dewasa secara mental dapat dilihat dari sikap yang matang dan rasional serta tidak emosional dalam membuat penilaian, dalam bersikap, dalam mengatasi suatu masalah diri sendiri maupun persoalan orang lain. Kalau pertumbuhan fisik akan berhenti pada usia sekitar 20-an tahun, maka kedewasaan adalah proses yang berkembang dalam waktu lama.
Oleh karena itu, dewasa secara fisik dan umur belum menjamin seseorang menjadi dewasa secara mental, pola pikir dan pola sikap. Al Quran menyebut kedewasaan sikap yang sempurna itu dengan istilah al-akhlaq al-karimah atau budi pekerti yang luhur (QS Al Qalam 68:4)
Kedewasaan sikap yang sempurna atau al-akhlaq al-karimah adalah sebuah proses panjang yang berliku walaupun tidak mustahil untuk dicapai. Dan hal yang lebih penting lagi adalah kemauan kuat untuk menjalani proses dan keinginan besar untuk mencapainya. Berikut beberapa langkah awal yang perlu dilakukan:
1. Bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Apabila gagal atau salah jangan berbohong atau menyalahkan orang lain.

2. Akui kesalahan yang dilakukan dan berbesar hati meminta maaf. Tanyakan apa yang bisa Anda lakukan untuk mengoreksinya. Ingat apa yang terjadi, supaya kesalahan serupa tidak terulang lagi.

3. Cari teman bergaul yang dewasa. Bertemanlah dengan wanita yang Anda anggap lebih dewasa sikapnya yang mau mengeritik Anda. Mintalah nasihat dan saran – dan dengarkan nasihat yang mereka berikan.

4. Catat sikap-sikap kurang dewasa Anda, baik yang Anda ketahui sendiri ataupun yang dibilang orang lain. Berlatihlah untuk membuangnya satu-persatu.

5. Hormati orang tua, keluarga dekat dan guru spiritual Anda. Karena mereka yang paling mungkin menyediakan waktu untuk Anda saat Anda sangat membutuhkan bantuan.

6. Perhatikan dan catat perbuatan apa saja dari teman saja yang paling Anda sukai dan Anda benci. Tiru perbuatan teman Anda yang menyenangkan, dan jangan ditiru sikap mereka yang menyebalkan

Sabtu, 24 Agustus 2002

Santri Pemimpin

Apabila setiap muslim diharuskan untuk menjadi pemimpin, yang cakupan kepemimpinannya sesuai dengan wawasan keilmuan dan kapasitas kepribadian, maka dalam konteks muslim Indonesia santri-lah yang paling berhak menyandang gelar sebagai pemimpin dan pelopor baik dalam lingkup masyarakat lokal maupun pada level nasional.
Ada empat faktor yang mendasari hal ini: pertama, wawasan spiritual (QS At Taubah 9:123). Santri adalah kalangan yang paling banyak mempelajari ilmu agama. Seorang pemimpin ideal hendaknya tidak diragukan wawasan keagamaannya. Sebab wawasan spiritual akan sangat membantu dalam menyeimbangkan kepribadian seorang pemimpin dalam berperilaku dan mengambil keputusan yang benar (QS Al Ankabut 29:13).
Kedua, mandiri. Seorang pemimpin harus mandiri yakni memiliki kepribadian yang independen yang memiliki ketergantungan hanya pada Sang Pencipta (QS Yunus 10:62). Pemimpin adalah sosok panutan banyak orang. Tidak ada satupun individu yang rela menjadi pengikut dari sosok pribadi yang tidak mandiri. Tentu saja pribadi mandiri bukan berarti pribadi yang tidak butuh pada orang lain sama sekali. Akan tetapi kebutuhan itu tidak pada tahap ketergantungan. Ia lebih bersifat mutual (saling memerlukan) seperti butuhnya penjual pada pembeli, bukan seperti butuhnya bayi pada ibu yang menyusuinya.
Apabila karakter kemandirian seseorang sebagian besar dibentuk oleh lingkungan, maka lingkungan pesantren dapat dikatakan memiliki pengaruh paling kuat dibanding lingkungan pendidikan lain dalam membentuk karakter mandiri seseorang.
Di pesantren, seorang santri dididik selama 24 jam tidak hanya dalam keilmuan “formal” seperti ilmu fiqh, Hadith, tafsir, dan lain-lain, tetapi juga dalam keilmuan “non formal” seperti kesabaran, percaya diri dan kerja keras; tiga sifat minimal yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.
Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan nonformal di pesantren adalah santri dilatih sebagai “pemimpin-pemimpin kecil” yang memiliki tugas-tugas rutin dalam mengkoordinir kegiatan harian pesantren. Kebiasaan ini pada gilirannya nanti menjadi modal yang kuat bagi seorang santri untuk melatih insting kepemimpinannnya saat terjun di masyakarat.
Ketiga, akhlakul karimah (QS Al Qolam 68:4). Masyarakat membutuhkan pemimpin yang memiliki perilaku akhlakul karimah. Pribadi akhlakul karimah akan selalu mendasarkan setiap tindakan pribadinya pada etika tertinggi baik menurut tinjauan agama maupun pandangan sosial. Sebaliknya, ia akan bersikap bijak dan “agak longgar” dalam menilai dan memberi “fatwa” pada kalangan yang dipimpinnya. Karena berwawasan luas dan berkepribadian tasamuh (bijaksana), ia disenangi kawan dan disegani lawan.
Keempat, sederhana dan jujur. Lingkungan pesantren adalah lingkungan pendidikan yang sangat mendorong santri untuk hidup sederhana. Kesederhanaan adalah salah satu moralitas tertinggi di samping kejujuran. Sederhana dan jujur adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sulit untuk hidup dalam kejujuran, apabila kita meninggalkan kesederhanaan.
Keempat faktor di atas menempatkan santri menjadi seorang calon pemimpin yang ideal untuk memimpin masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Kenyataan ini hendaknya tidak menjadikan kita berbangga hati, sebaliknya harus kita jadikan bahan introspeksi diri; sudahkan para santri selaras dengan keempat kriteria di atas?
http://afatih.wordpress.com/2009/07/09/santri-pemimpin/

Kamis, 01 Agustus 2002

Menyimpan dan Mengumbar Cinta

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku
Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong

(Sebuah syair dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, salah satu dari tujuh orang
ulama ahli fiqh dari kalangan tabi’in (fuqaha assab’ah), salah seorang guru utama Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seorang ulama yang produktif menulis syair, yang pernah jatuh cinta)

Penjelasan :
Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat. Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan. Di saat seperti ini, segala bentuk qorinah / tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.

Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan, maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama merupakan sumber gunjingan yang paling enak.

Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya apabila kecederungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan, sebagaimana sebuah hadits menyatakan, ”Tidak ada yang terbaik bagi dua orang yang saling mencintai kecuali menikah.” (HR. Ibnu Majah)

Sedangkan menunda-nunda ikatan pernikahan saat hati sudah tertambat pada diri seseorang, atau berusaha menghindar terhadap seseorang yang kita sukai merupakan bentuk penyiksaan batin yang lain, seperti seekor kucing yang dijauhkan dari makanan yang baru ditemuinya. Ia merasa begitu kehilangan, karena dijauhkan dari sesuatu yang selama ini ia harapkan. So, segera pastikan, cari sebuah jawaban, kunjungi orang tuanya, tentukan tanggal pelaksanaan. Insya Allah hati akan menjadi tentram. Wallauhu’alam bishshowab.
Robbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a'yun waj'alna lilmuttaqina imama. amin